Negara kesatuan yang berbentuk republik ini telah cukup dikenal sebagai masyarakat relegius walaupun seiring itu moralnya masih perlu dibangun dalam kesadaran tinggi kaitannya sebagai makhluk beragama (Human relegouus). Sebab masih dijumpai kemerosotan moral di beberapa kalangan elit the ruling class-nya dan (akhirnya akibat keteladanan yang jelek ini merembesi) oknum-oknum warga masyarakat. Seperti ini dalam bernegara dan berbangsa secara tegas mengambil azas Pancasila, yang sila pertama adalah soal penting dalam hidup manusia; yakni rasa ketuhanan yang esa. Di noktah nilai dari sila ini begitu jelas menggambarkan adanya hubungan transendensial manusia dengan Tuhan itu tentu dalam segala kiprah dan karyanya dalam kehidupan. Artinya manusia Indonesia itu seyogyanya selalu mengaitkan segala perbuatan, kiprah, karya dan hasil baktinya dalam konteks hubungan khalik (pencipta hidup) dan mkhluk (penikmat hidup). Dimana seluruh pengabdiaannya kepada publik dan negara-bangsa itu berada pada aras yang sama dengan pengabdian dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dilambari rasa ikhlas, tulus dan syukur dimana dalam aras hubungan secara manusianya ialah tanpa pamrih.
Inilah maksud dan kandungan dari sila pertama, Pancasila, yang secara verbal menerangkan bahwa manusia Indonesia itu pasti beragama dalam arti berketuhanan yang esa. Tentu tindakan-tindakan manusia Indonesia itu seyogyanya mengindahkan nilai etika relegiusitas yang terkandung dalam agama masing-masing yang telah dijembatani oleh sila pertama itu. Inilah kepribadian nasional manusia Indonesia, jatidiri bangsa. Maka elemen kebahagiaan manusia Indonesia tersusun oleh unsur spiritual yang disokong oleh nilai azas Pancasila, sila pertama itu. Entah apakah oknum itu beragama Hindu, Islam, Budha, Kristen, Katolik, Konghucu, Aliran kepercayaan, dan lain-lain, selama ia berdiam dengan damai dalam keyakinan itu, dia dapat menimba kebahagiaan dan kedamaian sosial dan batiniah dirinya. Bukankah semua agama mengajarkan kebajikan dan selalu rindu kepada kebenaran? Itulah elemen pertama Indonesia Bahagia yakni "Beriman dan taat beragama". Dengan iman, kebahagiaan tercapai dengan sentosa.
Manusia Indonesia dalam arus ini selalu memposisikan agama/Tuhan sebagai pendamping, sahabat dalam berkarya dan kiprah di aras pengabdian sosialnya. Sehingga Tuhan tidak hanya hadir manakala dirinya berada di rumah-rumah ibadah saja, di mana-mana medan pengabdian Tuhan selalu juga ikut hadir dan berkarya. Tentu kesadaran yang terkandung dalam elemen pertama Indonesia Bahagia ini adalah kesadaran untuk selalu ingat dalam pengawasan mata Tuhan, pembimbingan Tuhan, sehingga manifestasinya ialah sikap rendah hati, jujur, bertaqwa, taat pada prinsip-prinsip yang benar. Seperti saat kita mencanangkan sebuah wahana edukatif "Kantin Kejujuran" bagi generasi bangsa; mana mungkin wahana edukatif itu akan terselenggara bila tidak dilambari oleh elemen pertama Indonesia Bahagia ini di setiap sanubari para peserta dan pihak-pihak partisipan dan masyarakat sendiri. Kita pun akhirnya menurunkan sebuah pesan dalam wahana itu, "Allah melihat-Malaikat mencatat" sebagai cerminan jatidiri bangsa dan kepribadiaan nasional.
Bagimanapun nilai-nilai ketuhan atau etika relegiusitas dan rasa spiritual itu telah banyak mengilhami proses dan babak-babak pembangunan bangsa ini, pun sejak sebelum kemerdekaan ini. Artinya, jika kita sebagai bangsa telah dengan tegas menyatakan bahwa berdirinya negara ini ialah untuk menjaga dan melindungi segenap jiwa raga rakyatnya jangan lupa itu dijaga dengan cara menumbuhkan sumber-sumber kebahagiaan yang datangnya dari pangkal pokok diri manusia sendiri yakni rasa relegiusitas dan spiritualitas dimana cita-cita dan tujuan mengejar kesejahteraan umum (material) itu akan sia-sia jika bangsa ini mengabai sisi yang paling primordial (fitrawi) ini dalam hidup manusia. Sebab manusia sudah kadung dari sononya selalu merindukan suatu yang hakiki dalam hidupnya. Karena itu, sejak Neuroscience menemukan God-Spot di belahan otak yang bernama lobus temporal (temporal Lobe) sangat tidak mungkin manusia tidak memiliki rasa berketuhanan yang esa. Sangat tidak mungkin dia menjadi atheis atau kehilangan spiritualitasnya. Meskipun seseorang mengaku tidak beragama, tidak mungkin dia meninggalkan atau tidak mengakui Tuhannya. Dengan begitu elemen ini menjadi modal primordial manusia Indonesia untuk selalu berbahagia.
Senin, 30 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar