Kamis, 10 Desember 2009

Hidup Harmonis Selaras antara Hak Azasi (HAM) dan Kewajiban Azasi (KAM)

Hidup harmonis menjaga keselarasan antara Hak Azasi (HAM) dan Kewajiban azasi (KAM) adalah elemen ketiga untuk mewujudkan Indonesia Bahagia. Kita dan generasi sekarang hidup dan tumbuh dalam kesadaran demokrasi yang partisipatif dan iklim kebebasan politik yang sedemikian pesatnya. Corak baru pergaulan hidup pun cenderung mengarah pada pengarusutamaan kepentingan-kepentingan politik yang kadang-kadang primordial dan sektarian. Ini pun menjadi marak manakala memperhatikan perhelatan besar pemilihan umum baik legislatif ataupun presiden-wapres. Maka di tengah pesatnya demokrasi partisipatif dan kebebasan politik itu perlu diindahkan akan hak-hak dan kewajiban manusia sebagai makhluk sosial selain sebagai makhluk individual.

Untuk mewujudkan Indonesia Bahagia dalam semarak iklim kehidupan demokratisasi yang ditingkahi kebebasan ekspresi politik perlu diimbangi dengan pemenuhan Kewajiban Azasi Manusia (KAM) selain penuntutan akan hak-hak dasar kemanusiaan (HAM). Sebab hidup di tengah pergaulan sosial dan politik yang sarat dengan kepentingan-kepentingan individual ada pula kepentingan yang lebih bersifat umum untuk dikedepankan. Karena itu kewajiban azasi manusia menjadi penting sebagai penyeimbang akan tuntutan hak-hak dasar kemanusiaan (HAM). Manakala kita mengedepankan penunaian kewajinam dasar kemanusiaan (KAM), maka dengan sendirinya kita akan menjumpai hak-hak kita (HAM). Dengan kata lain, Hak yang menjadi pokok tuntutan kita adalah kewajiban dasar bagi pihak lain. demikian sebaliknya. Dengan demikian alangkah indah dan bijaknya hidup di alam demokrasi, bila setiap individu lebih mengutamakan kewajiban azasinya (KAM) daripada menuntut pemenuhan hak-haknya (HAM) terlebih dahulu.

Manusia Indonesia yang mampu menjaga keselarasan pemenuhan dan penunaian antara HAM dan KAM-nya berpotensi menempati ruang-ruang pergaulan sosialnya yang harmonis, tentram dan penuh kedamaian. Cikal bakal kebahagiaan bagi manusia Indonesia terletak dalam kemampuannya bagaimana menempatkan posisi hak-hak dasar individualnya secara seimbang dengan kewajiban-kewajiabannya sebagai makhluk sosial. Menjaga kesimbangan dan keselarasan antara HAM dan KAM ini adalah pola dasar pergaulan sosial antara individu dan antara warga negara dan negara. Secara luas tentang keselarasan dan perimbangan ini, dalam hal hubungan warga-negara (citizen) dan negara (state), dibahas secara komprehensif dalam "Buku Delapan Sekolah Terbuka Kewarganegaraan".

Hidup harmonis dan menjaga keselarasan antara dorongan pemenuhan hak-hak dasar kemanusiaan dan penunaian kewajiban dasar sebagai makhluk sosial merupakan ukuran paripurna pencapaian keseimbangan mental dan kemampuan jatidiri manusia Indonesia mengelolaa hidupnya. Artinya semakin tinggi kesadaran menempatkan porsi tepat berimbang antara HAM dan KAM seseorang, semakin tinggi pula daya potensi untuk hidup harmonis di ruang pergaulan sosialnya. Demikianlah semestinya sikap sosial dan politik manusia Indonesia sebagai insan paripurna yang mengindahkan prinsip-prinsip keberbangsaannya (Nasionalisme) yang bersendikan nilai-nilai Pancasila.

Kamis, 03 Desember 2009

Amalkan Pengetahuan Untuk Kesejahteraan

Manusia Indonesia sebagai bagian dari manusia dunia sama padannya dalam meraih cita-cita kebahagiaannya. Juga setara dalam menunaikan dan memenuhi Hak-kewajibannya. Manusia Indonesia sendiri mempunyai hak setara antara sesamanya untuk memperoleh pengetahuan dan pendidikan. Karena itu, manusia Indonesia adalah juga manusia yang mempunyai daya rasa ingin tahu (pencari pengetahuan/ilmu). Sebagaimana manusia lain berjuluk manusia kreatif (hayawanun-natif/human intelect) manusia Indonesia pun juga demikian. Namun didorong oleh prinsip kemanusiaan, ilmu pengetahuan dalam cita-cita nilai idealnya adalah untuk menyempurnakan hidup manusia dan mewujudkan kesejahteraannya secara lahir dan batin. Proposisi ini sebagaimana dimaksudkan oleh sila-sila Pancasila dan ditegaskan oleh Pembukaan UUD'45 sebagai cita dan tujuan.

Oleh karena itu mengamalkan pengetahuan untuk kesejahteraan merupakan bagian dari realisasi diri seorang anak manusia sebagai makhluk eksistensial yang butuh pengakuan dan penerimaan oleh lingkungan sosialnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia itu adalah zoon politicon yaitu ia akan bisa hidup berdiri sendiri. Maka sebesar dan sekecil apapun pengetahuan yang dia peroleh dari dalam pengalaman hidupnya perlu pengejawantahan di ruang-ruang sosialnya sebagai realisasi diri. Juga sebagai penerimaan atas kehidupan ini sendiri.

Disaat seorang manusia Indonesia menemukan ruang realisasi dirinya disitulah elemen sumber kebahagiaan lainnya dalam hidup. Manusia yang telah memahami titik koordinat hidupnya diantara Tuhannya dan alam/lingkungan sosialnya akan menemukan ruang keberfungsian dirinya sekecil apaapun itu. Disinilah disaat itu pula titik sumber kebahagiaan hidupnya.

Dalam mengamalkan pengetahuan ataupun ketrampilan lainnya, seorang anak manusia menjadi semakin terkayakan oleh pengetahuan yang diberikan oleh pengalamannya. Justru ilmu yang terus diabdikan bagi kehidupan yang lebih baik untuk negara dan bangsanya menjadi semakin mengayakan jiwa bestarinya. Sebagaimana dikatakan oleh bijak bestari Ali putra Abi Thalib, "Jika kamu cinta pada ilmu penegtahuan, ilmu pengetahuan akan menjagamu, namun jika kamu cenderung pada harta kamu lelah dituntut menjaganya. Disaat pengetahuan diabdikan kepada kepentingan publik justru dunialah yang melayani keperluan kita. Dengan demikian hal itu sendiri turut menyumbangkan kebahagiaan dalam hidup. Seperti pepatah bijak lainnya mengatakan, " Ilmu tidak habis dibelanjakan, Harta habis di jalan bila dibelanjakan". Utama ilmu yang mempunyai nilai manfaat langsung di tengah masyarakat, maka akan membuat makmur ilmu itu sendiri tak pernah habisnya.

Sebagaimana fungsi fitrah hidup manusia itu ialah kebermanfaatan (dirinya berguna bagi orang lain atau bagi masyarakat luas) dalam hidupnya maka tuntutan dasarnya tak lain adalah realisasi diri dalam medan-medan pengabdian hidup dalam bentuk dan rupa apapun. Inilah elemen kedua yang dapat membangun Indonesia bahagia. Betapa tidak, jika setiap individu mempunyai rasa ingin merealisasikan dirinya (dengan segenap kemampuan dan talenta) tulus untuk mengabdikannya kepada nusa-bangsa maka tentu masyarakat tidak kehilangan modal sosial untuk membenahi kekurangan-kekurangan ataupun kelemahan-kelemahan dalam hal, misalnya , moral dignity, kepribadian nasional, kemiskinan, atau pemenuhan kesejahteraan lahir-batin itu.